Rabu, 27 April 2016

GURU, PAHLAWAN ATAU SEBATAS TENAGA PROFESSIONAL BAYARAN?

Guru, berasal dari bahasa sanksekerta yang secara harfiah berarti “berat”, dalam bahasa Indonesia, guru merujuk kepada pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik, itulah yang didefenisikan Wikipedia. 

Sebagai seorang professional yang memiliki sederetan kewajiban yang disebutkan tadi, guru memiliki tanggung jawab yang luar biasa untuk mampu memanusiakan anak manusia. Dalam konteks ini, Saya akan asumsikan guru sebagai tenaga professional yang berada dalam lingkup “ruang pendidikan” yang disebut dengan sekolah. Di sekolah lah segala proses yang harus dilakukan oleh guru, berjalan dengan semestinya berdasar pada siklus atau perputaran kewajibannya, yaitu mengajar, mendidik, menilai dan mengevaluasi.

Dalam prosesnya, segala sesuatu yang dilakukan guru ternyata bukan hanya sekadar menjalankan ritual pengajaran dan penilaian, ibarat sebuah perjalanan, kewajiban guru ternyata memiliki banyak sekali halang rintang dan kendala yang ternyata harus diselesaikan bersamaan dengan kewajiban tersebut. Mulai dari kondisi sebagian anak didik yang lambat mengikuti pembelajaran, hingga ketidaksamaan cara fikir dan karakter setiap anak didik yang harus dicarikan solusinya. Hal itu semua menjadi tanggung jawab yang harus dituntaskan oleh seorang guru demi mewujudkan cita-cita undang-undang dasar 1945 yaitu untuk mencerdaskan anak bangsa. Wajar saja bila bahasa sanksekerta menamakan profesi itu dengan “guru” yang berarti ”berat”. Kita bisa melihat itu semua. 

Pendidikan yang sempurna, idealnya mampu memberikan satu timbal balik positif demi menyeimbangkan keberlangsungan tujuan mulia seorang guru. Dalam hal ini tentu saja masyarakat yang notabenenya sebagai orangtua dari peserta didik atau siswa yang “menitipkan” anaknya kepada pihak sekolah, haruslah dapat memberikan input atau masukan yang dapat membantu perjalanan seorang guru dalam mendidik anak-anaknya. Misalnya saja, membantu melanjutkan apa yang telah dipelajari di sekolah untuk kemudian diperdalam lagi di rumah masing-masing siswa. Karena ternyata, waktu yang disediakan sekolah tidak lebih banyak dari waktu yang ada pada saat anak didik berada di rumah. Dipercaya atau tidak, hasil penelitian membuktikan, menjadi rekanan dan menjalin hubungan yang baik dengan guru akan memberikan satu bentuk energi positif dalam kemajuan proses pendidikan peserta didik

Inilah satu bentuk sistem yang harus dibangun oleh budaya pendidikan saat ini, dimana ketika guru memaksimalkan kewajibannya tanpa meminta jasa sedikitpun, masyarakatpun mampu memberikan satu bentuk kontribusi nyata yang konstruktif terhadap tumbuh kembang pembelajaran peserta didik atau siswa. Namun, kenyataan yang seharusnya dibudayakan itu, kini mulai menguap seiring sudut pandang konteks mutualisme yang perlahan memudar. Guru saat ini hanya dianggap sebagai seorang bayaran yang dipekerjakan agar menyampaikan sebuah pembelajaran, dengan meninggalkan hubungan mutualisme yang seharusnya terdapat sebuah tenggang rasa serta rasa saling menghargai dan menghormati didalamnya. Masyarakat khususnya orangtua siswa kini mulai meninggalkan tenggang rasa dan saling menghargai. Terlebih saat orangtua siswa mendapati guru yang sedikit saja lalai dan melakukan kesalahan, hilanglah sudah semua bentuk toleransi dan rasa saling menghargai. 

Kelalaian atau sebuah kesalahan kecil wajar terjadi pada seorang guru yang memang mereka adalah manusia biasa tanpa keistimewaan layaknya seorang nabi. Bila kita kaji lebih dalam, adakah seseorang yang ingin sengaja membuat sebuah kesalahan atau kelalaian? Jawabannya tentu tidak. Namun entah kenapa, di era kekinian kesalahan atau kelalaian tersebut seolah menjadi momok yang sangat menakutkan bagi seorang guru, hal yang sama sekali tidak boleh dilakukan, bahkan akhirnya menjadi faktor ketraumaan tersendiri. Padahal, Saya ulangi sekali lagi, guru bukanlah seorang istimewa yang diberikan mukjizat oleh Tuhan sehingga tidak pernah melakukan kesalahan.

Pernah terjadi sebuah permasalahan di sebuah sekolah, seorang siswa didapati orang tuanya dalam keadaan menangis karena ternyata siswa tersebut mengaku berkelahi dengan siswa lain, tanpa fikir panjang orang tua siswa tersebut pun langsung menghubungi wali kelas siswa tersebut dan langsung menegur, membentak, serta menyalahkan sepenuhnya kejadian tersebut kepada wali kelas siswa itu. Padahal saat diketahui kapan peristiwa itu terjadi, perkelahian tersebut terjadi diluar jam sekolah, dengan kata lain, siswa tersebut sudah seharusnya pulang atau kembali ke rumahnya. Haruskah itu disimpulkan sebagai suatu kesalahan besar yang dilakukan guru sebagai wali kelasnya?

Dilain kasus, Saya juga pernah menyaksikan betapa pucatnya wajah seorang guru yang tidak mengetahui duduk permasalahan seperti apa, tiba-tiba mendapatkan hal serupa, teguran dan cacian yang dilontarkan oleh orang tua siswa. Hal itu terjadi saat orang tua siswa mendapati anaknya ternyata tidak dijemput untuk pulang tepat pada waktu seharusnya, hanya karena wali kelasnya tidak memberikan kabar kepada orang tua siswa tersebut bahwa hari itu siswa bisa dijemput lebih awal karena kegiatan rutin sore hari saat itu tidak dilaksanakan, siswa tersebut pun tidak meminta guru lain untuk menghubungi orangtuanya, karena memang sedang asyik bermain bersama temannya yang juga siswa sekolah di tempat yang sama. Ternyata yang terjadi adalah, wali kelas siswa tersebut memang meiliki kewajiban lain di luar proses pembelajaran, hingga mungkin tidak sempat atau lupa memberikan kabar kepada orang tua siswa tersebut. Lagi-lagi, haruskah itu disimpulkan sebagai suatu kesalahan besar seorang guru yang saat itu tidak mengetahui permasalahannya seperti apa? Hal yang mungkin dianggap benar memang, orang tua merasakan kekecewaan dan kesedihan melihat anaknya yang hingga sore hari belum dijemput pulang, sementara siswa lain sudah pulang ke rumah masing-masing. Namun, bila kita lihat lebih jauh kepada idealisme hubungan orangtua siswa dan guru yang seharusnya sama-sama bisa saling menghargai dan menghormati, hal menyedihkan berupa perdebatan itu sebenarnya bisa dihindari. Dua dari sekian banyak permasalahan serupa inilah yang menjadi problema keberlangsungan dunia pendidikan saat ini.

Delapan dari sepuluh guru merasa sangat tidak berharga bahkan merasa sangat diinjak-injak, ketika suatu permasalahan diselesaikan dengan sebuah teguran yang luar biasa menyakitkan dari orang tua siswa. Tanpa periksa silang dan tanpa awalan komunikasi yang jelas, duduk permasalahan dibawa dan dikonversi menjadi sebuah kesalahan fatal yang sama sekali tidak dapat diklarifikasi dan ditoleransi dengan hasil yang dingin. Bentakan-bentakan hingga caci maki dilayangkan dengan ringan dan hinggap menghantam keras pundak seorang guru yang melakukan sebuah kelalaian. Sebuah kelalaian yang seharusnya menjadi alat saling mengingatkan agar tumbuh menjadi benih persaudaraan, kini mulai terhapus perlahan seiring persprektif masyarakat yang menganggap guru hanya sebatas seseorang yang dibayar untuk memberikan pembelajaran kepada seorang anak. Hal wajar mungkin, karena mereka merasa sudah membayar mahal agar anaknya dapat bersekolah dan “dititipkan” untuk belajar kepada guru di sekolah, namun guru tetap melakukan kesalahan.

Namun, mari kita gali lebih dalam tentang apa saja yang telah dilakukan oleh seorang guru kepada kita. Saya ingin mengajak agar kita renungkan sejenak jasa guru-guru yang pernah ada dalam hidup kita. Kita tidak akan pernah menjadi seseorang yang berpengetahuan tanpa adanya seorang guru, kita tidak akan tahu bagaimana cara menghargai seseorang yang lebih tua dari kita tanpa adanya seorang guru, sekarang kita mampu menjadi manusia yang dicita-citakan kedua orang tua kita, itu salah satunya karena jasa seorang guru. Apalagi, hal ini dipertegas dengan jelas oleh sebagian besar alim ulama yang menjelaskan betapa pentingnya menghormati dan menghargai seorang guru yang telah mengajar dan mendidik kita, karena ilmu yang membawa manfaat dan keberkahan adalah ilmu yang berasal dari guru yang dihargai dan dihormati serta dijunjung tinggi. Melihat itu semua, haruskah guru saat ini hanya dinilai sebagai tenaga professional pengajar yang dibayar dengan catatan jangan sampai melakukan sebuah kesalahan? Atau bukankah akan menjadi hal yang sangat indah bila kita juga menempatkan mereka yang telah menyampaikan ilmu kepada kita sebagai salah satu pahlawan untuk hidup kita? Waallahu’alam.